Beranda Rumah dan Labirin Kehidupan

Beranda Kehidupan

Teras rumah kami memanjang ke samping. Di ujung lantainya, pot-pot bunga kesayangan Emak berjejer rapi. Halaman tampak asri, rindangnya pohon jambu menebalkan kesejukan. Namun, lebih dari itu, teras bukan sekadar tempat berteduh—ia adalah ruang berbagi cerita.

Sejak kecil hingga pertengahan SMP, saya kerap duduk di pangkuan Bapak di teras rumah. Tubuh saya yang lebih kecil dibanding teman sebaya mungkin membuatnya tak keberatan. Namun, jika sudah pegal, ia akan meminta saya duduk di sampingnya.

Bapak gemar bercerita bila di teras. Menyoal sepak bola, teman-teman kerjanya, hingga kisah-kisah penuh kesedihan. Satu hal yang paling saya ingat, yaitu obsesinya pada nama-nama kampus. UI, ITB, UGM—semua itu akrab di telinga saya jauh sebelum saya tahu arti maksudnya.

Saat Bapak menyebut nama-nama universitas, saya hanya mengangguk. Tapi kini saya paham, di balik kata-katanya ada harapan yang ia titipkan. Sebuah harapan yang mungkin dulu tak sempat ia genggam, tapi ia yakini bisa saya capai.

Saya melihat dalam dirinya sosok pria yang merindukan pendidikan. Ia tak segan menjadikan dirinya pembanding. “Bapak SD saja nggak lulus, tapi bisa membaca dan menghitung. Kalau kamu sampai universitas, kamu pasti bisa lebih dari Bapak,” ujar Bapak suatu malam. Ingatan saya masih merekam ucapannya dengan baik. Saya hanya mendengarkan, sesekali bertanya, hingga akhirnya Emak menimpali dengan pesan-pesan moralnya.

Kini, tradisi itu tetap lestari. Dua bulan terakhir, karena saya belum bekerja, malam-malam kami kembali dipenuhi obrolan panjang. Jika kakak-kakak saya datang berkunjung, mereka ikut larut dalam cerita. Kami saling mendorong untuk maju, berbagi visi, bahkan melempar pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan.

Bagaimana dengan suami atau istri kakak saya? Mereka pun ikut dalam kebiasaan ini. Di teras ini, tak ada yang merasa lebih tinggi. Kakak, adik, ipar—kami semua duduk berselonjor, bertukar cerita, tertawa, sesekali diam merenungi kata-kata satu sama lain. Perbedaan pendapat? Tentu ada. Sialnya, tak pernah ada penghakiman.

Semasa saya kecil, Emak selalu cerewet di tengah cerita. Dewasa ini, giliran kami yang mengomelinya—tentang pola makan, jam tidur, dan rutinitas obatnya. Bila diomeli, biasanya ia tersenyum, meski kini lebih banyak kerutan di sekelilingnya.

Teras rumah kami bukan sekadar ruang fisik. Ia labirin kenangan bertumbuh, tempat nilai-nilai dijaga, tempat kasih sayang tak pernah surut. Di sana, kami belajar mendengar tanpa menghakimi, berbicara tanpa merasa lebih benar, dan saling menguatkan tanpa perlu diminta.

Waktu berjalan, peran bergeser. Dulu, saya duduk di pangkuan Bapak, mendengar cerita-ceritanya. Kini, mungkin kelak, saya yang akan duduk di teras ini, berbagi kisah dengan anak-anak atau keponakan saya.

Hidup berubah, tetapi ada yang tak boleh hilang: kebersamaan, kehangatan, dan cerita yang selalu menemukan caranya sendiri untuk tetap hidup. Sebagai penutup, sedikit meminjam kalimat dari Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Dari kalimat itu, rasanya cerita perihal teras rumah perlu tetap hidup—tertulis, teringat, dan kelak diwariskan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *