Membaca Jokowi dalam The Age of the Strongman: Pergeseran Kepemimpinan di Indonesia

Jokowi dalam The Age of the Strongman

Di tengah maraknya kebangkitan pemimpin otoriter di berbagai belahan dunia, Joko Widodo (Jokowi) muncul sebagai sosok yang menarik untuk dianalisis. Sebagai pemimpin Indonesia yang dikenal dengan gaya kepemimpinan sederhana dan merakyat, Jokowi awalnya dianggap sebagai harapan bagi demokrasi Indonesia. Namun, dalam buku The Age of the Strongman karya Gideon Rachman, Jokowi digambarkan mengalami pergeseran signifikan menuju gaya kepemimpinan yang lebih otoriter, seiring dengan langkah-langkahnya yang semakin dekat dengan kekuatan militer dan kelompok konservatif. Perjalanan kepemimpinan Jokowi menunjukkan bagaimana bahkan dalam demokrasi, kekuatan otoritarian dapat mengintai, mengubah arah kebijakan, dan mengancam kelembagaan yang ada.

Pada awal kemunculannya di panggung politik Indonesia, Joko Widodo dikenal sebagai pemimpin yang sangat rendah hati, sebuah karakter yang membedakannya dengan para pemimpin sebelumnya, terutama dengan Presiden Soeharto yang dikenal dengan gaya kepemimpinan yang lebih otoriter dan kontrol yang ketat terhadap negara. Joko Widodo datang dari latar belakang yang sangat sederhana, seorang pengusaha mebel yang kemudian menjadi wali kota Solo dan akhirnya presiden Indonesia. Kepemimpinannya yang lebih bersifat populis, dengan memperkenalkan kebijakan-kebijakan yang lebih mengarah pada pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan rakyat kecil, membuatnya sangat diterima di kalangan masyarakat.

Buku ini menyoroti bahwa Joko Widodo pada awalnya dianggap sebagai pemimpin yang mengusung ide-ide reformis dan demokratis, yang mengedepankan kualitas hidup rakyat biasa. Dalam pertemuannya dengan Gideon Rachman pada tahun 2016 di London, Joko Widodo digambarkan sebagai sosok pemimpin yang sangat rendah hati. Bahkan, Rachman menyebutkan bahwa Joko Widodo adalah salah satu pemimpin dunia yang paling tidak ambisius, dan lebih memilih memberikan perhatian kepada Menteri Perdagangan Tom Lembong dalam diskusi penting. Ini menunjukkan bahwa Jokowi memang mengutamakan kesederhanaan dalam interaksi politiknya, yang menjadi daya tarik utama di mata rakyat Indonesia.

Namun, seiring berjalannya waktu, Jokowi mulai mengambil langkah-langkah yang lebih pragmatis, terutama dengan mendekatkan diri kepada kelompok-kelompok Islam konservatif dan juga militer yang memiliki pengaruh besar di Indonesia. Keputusan-keputusan politik Jokowi untuk mendekati kelompok-kelompok ini memunculkan kesan bahwa ia mulai mengorbankan nilai-nilai liberalisme yang awalnya digadang-gadang oleh pemerintahannya. Misalnya, dalam beberapa kebijakan politik, Jokowi tampak cenderung lebih memperhatikan suara-suara dari kelompok garis keras yang menuntut penegakan hukum yang lebih ketat terhadap minoritas dan lebih memihak pada agama tertentu.

Meskipun Jokowi tidak pernah berusaha untuk menciptakan sebuah cult of personality seperti yang dilakukan oleh beberapa pemimpin otoriter lainnya, ada kecenderungan bahwa ia semakin membangun basis kekuatan yang berhubungan erat dengan kekuatan militer dan kelompok konservatif. Dalam konteks ini, Rachman mengingatkan bahwa Jokowi mungkin lebih mirip dengan pemimpin-pemimpin seperti Xi Jinping atau Erdoğan, yang pada awalnya dipandang sebagai pemimpin reformis, tetapi kemudian mulai memperlihatkan sisi otoritarian mereka.

Jokowi dan Tuntutan terhadap Demokrasi dan Kelembagaan

Salah satu tema besar yang dibahas dalam buku ini adalah bagaimana pemimpin otoriter, meskipun terpilih secara demokratis, sering kali memperlemah lembaga-lembaga demokratis yang ada untuk memperkuat posisi pribadi mereka. Dalam hal ini, Jokowi, meskipun tidak sekeras beberapa pemimpin yang tercatat dalam buku tersebut, menunjukkan tanda-tanda mengikis batasan-batasan kelembagaan yang ada. Jokowi, dengan dukungan dari kelompok-kelompok yang lebih konservatif, mulai menata ulang kebijakan yang semakin menunjukkan ketergantungan pada kekuatan militer dan penggunaan kekuasaan politik untuk menekan oposisi.

Buku ini mengungkapkan bahwa meskipun Jokowi masih menjalani pemerintahan dalam sistem yang relatif demokratis dengan pemilihan umum yang teratur, ada kecenderungan yang mengarah pada erosi lembaga-lembaga demokratis di Indonesia. Kebijakan-kebijakan seperti penanganan oposisi politik yang keras, pengawasan ketat terhadap media, dan pengabaian terhadap kebebasan sipil sedikit banyak memperlihatkan bahwa Jokowi mengikuti pola yang sama dengan pemimpin otoriter lainnya yang semakin memperkuat kontrolnya dengan mengikis kebebasan yang seharusnya dilindungi oleh sistem demokrasi.

Jokowi dalam “Era Strongman”

Jokowi di mata Gideon Rachman dapat dipandang sebagai contoh dari perubahan besar dalam dunia kepemimpinan global, di mana gaya kepemimpinan otoriter semakin diterima bahkan di negara-negara dengan tradisi demokratis yang panjang. Meskipun Jokowi tidak dapat disamakan dengan pemimpin otoriter lainnya yang lebih ekstrem, seperti Duterte atau Putin, ia berada di tengah-tengah fenomena global ini. Jokowi memanfaatkan sistem demokrasi untuk membangun kekuasaannya, sementara di saat yang sama mulai menunjukkan kecenderungan otoritarian, yang mungkin merupakan refleksi dari tekanan politik domestik dan regional yang semakin meningkat.

Pergeseran Jokowi dari pemimpin populis yang sederhana menjadi lebih dekat dengan kekuatan militer dan konservatif, menunjukkan bahwa Indonesia juga tidak luput dari pengaruh kebangkitan “strongman” dalam politik global. Perubahan ini membawa pertanyaan besar tentang bagaimana Indonesia akan berkembang dalam menghadapi tantangan demokrasi di era pemimpin otoriter yang semakin menguat.

Baca lebih banyak di sini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *