Pulang Tanpa Menjadi Asing

Dua per tiga usia saya dihabiskan di desa. Kota hanya tempat merantau—enam tahun saya lalui singgah di kota Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Namun, setiap lebaran, saya selalu kembali ke tanah kelahiran, ke rumah yang tak pernah benar-benar ditinggalkan.

Di sana, desa tetap seperti ingatan saya. Sungai yang membelah kebun sawit, para penggembala dengan sapi dan kambingnya, dan bangunan tua peninggalan Belanda. Saat malam tiba, pos ronda masih menjadi tempat bercerita, obrolan ngalor-ngidul tetap menghangatkan malam. Cara bertutur yang santun, sikap yang bersahaja—semuanya terasa akrab, seperti halaman buku yang sudah berkali-kali saya baca.

Namun, di balik keakraban itu, ada hal lain yang juga tak pernah berubah: pertanyaan-pertanyaan yang datang tanpa aba-aba. “Kapan lulus?”, “Kapan menikah?”, “Kapan punya kendaraan roda empat?”, serta “Kapan punya anak?”. Bagi sebagian orang, pertanyaan-pertanyaan ini sering terasa seperti ujian yang harus segera dijawab. Tapi mungkin, bukan mereka yang keliru bertanya—melainkan saya yang lupa bagaimana desa melihat dunia.

Di kota, kita terbiasa menjaga batasan, memilih topik pembicaraan, menghindari hal-hal yang dianggap terlalu pribadi. Kita percaya bahwa ada ruang yang tak boleh dimasuki sembarang orang. Tapi di desa, segala hal masih terasa seperti milik bersama. Hidup adalah kebersamaan, dan pertanyaan-pertanyaan itu bukanlah interogasi, melainkan cara mereka berbagi perhatian.

Sering kali, kita datang ke desa dengan merasa lebih tahu, lebih modern, lebih terbuka. Kita menilai mereka kampungan, tertinggal, dan terbelakang. Kita mengira mereka belum sampai ke titik pemahaman kita. Tapi mungkin, yang sebenarnya terjadi bukanlah desa yang tertinggal, melainkan kita yang berjalan terlalu jauh hingga lupa dari mana kita berasal.

Bagi banyak orang di desa, kota-kota seperti Jakarta, Jogja, atau Surabaya adalah sesuatu yang magis. Gedung pencakar langit, lampu-lampu yang tak pernah padam, dan uang yang mengalir seperti sungai. Mereka membayangkan kota sebagai tempat di mana hidup lebih mudah dan menjanjikan.

Mungkin, pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi. Bisa jadi itu doa, atau cerminan dari standar kebahagiaan yang mereka yakini. Dan jika kita merasa terganggu, mungkin bukan mereka yang salah, tetapi kita yang lupa bahwa setiap tempat punya cara sendiri untuk memahami hidup.

Maka, jangan membawa kesombongan kota ke desa. Jawablah pertanyaan mereka dengan senyum. Berceritalah tentang hal-hal yang lebih akrab—tentang kesehatan, tentang hobi, tentang rencana yang masih ingin diwujudkan. Karena sejatinya, pulang bukan hanya tentang kembali ke rumah, tetapi juga tentang mengingat siapa kita sebelum kita merantau.

Sebagai penutup, baiknya, jangan bawa kota untuk menghakimi desa. Bawalah kota untuk berbagi cerita, belajar kembali tentang kesederhanaan, dan mengingat bahwa kebahagiaan punya banyak wajah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *