Menerawang Masa Depan Internet: Ulasan Buku Web 3 Karya Alex Tapscott

review buku web 3

Bagaimana jika Anda bisa benar-benar memiliki bagian dari internet? Bukan hanya sekedar menggunakannya saja, tetapi benar-benar memiliki serta mengontrol aset digital, data, hingga komunitas daring. Inilah janji besar Web 3, sebuah revolusi internet yang mengembalikan kuasa kepada setiap pengguna. Alex Tapscott dalam bukunya, Web3: Charting the Internet’s Next Economic and Cultural Frontier, menjelaskan bagaimana internet sedang mengalami perubahan besar yang akan mendisrupsi banyak aspek kehidupan, dari ekonomi hingga budaya digital. Dengan teknologi seperti blockchain, NFT, dan organisasi terdesentralisasi (Decentralized Autonomous Organizations atau DAO), Web3 menghadirkan era baru kepemilikan digital yang akan mengubah cara kita berinteraksi secara daring.

Di tengah berkembangnya Web3, saat ini banyak orang masih menganggap Web3 sebagai tren sesaat yang berkaitan dengan spekulasi aset digital seperti kripto dan NFT. Namun, buku ini menunjukkan bahwa Web3 lebih dari sekadar fenomena keuangan—ini adalah pergeseran fundamental dalam struktur internet yang akan mengubah berbagai industri. Dengan membaca buku ini, pembaca dapat memahami bagaimana teknologi blockchain dapat menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil, bagaimana organisasi tanpa hirarki tradisional bisa bekerja, serta bagaimana konsep kepemilikan digital bisa memberdayakan individu. Jika Anda tertarik untuk memahami bagaimana masa depan digital akan terbentuk dan bagaimana Anda bisa menjadi bagian darinya, maka buku ini adalah bacaan yang wajib.

Disruptions – Web3 sebagai Revolusi Baru Internet

Dalam Web3, Alex Tapscott memulai dengan menjelaskan bagaimana internet telah melalui tiga fase besar dalam evolusinya. Web1 adalah era read-only (baca saja), dalam era ini internet berfungsi sebagai alat distribusi informasi tanpa adanya interaksi pengguna yang berarti. Setelah itu munculah Web2, era ini dijuluki dengan era read-write (baca dan tulis). Web2 ditandai dengan munculnya media sosial dan platform digital yang memungkinkan partisipasi pengguna secara aktif. Namun, Web2 menghadirkan tantangan besar: platform teknologi raksasa seperti Google, Facebook, dan Amazon mulai memusatkan kontrol, mengumpulkan data pengguna secara masif, dan memperoleh keuntungan besar dari konten yang dihasilkan komunitasnya tanpa membagikan nilai kembali kepada mereka.

Di sinilah Web3 muncul sebagai solusi. Web3 menawarkan konsep read-write-own. Dalam konsep ini internet tidak hanya menjadi tempat berbagi informasi dan berinteraksi, tetapi juga memungkinkan kepemilikan digital yang sejati bagi pengguna. Dengan teknologi blockchain sebagai fondasi utamanya, Web3 berupaya mendistribusikan kembali kendali atas aset digital kepada individu, bukan hanya kepada perusahaan raksasa. Tapscott menekankan bahwa Web3 bukan sekadar tren teknologi baru, tetapi sebuah transformasi besar yang dapat mendisrupsi model bisnis lama dan menciptakan ekosistem digital yang lebih demokratis dan terdesentralisasi.

Transformations – Dampak Web 3 pada Berbagai Sektor

Transformasi yang dibawa oleh Web 3 tidak hanya terbatas pada infrastruktur internet, tetapi juga berdampak besar pada berbagai industri. Tapscott menguraikan beberapa sektor yang paling terpengaruh oleh teknologi ini, termasuk aset digital, keuangan terdesentralisasi (DeFi), gaming, metaverse, dan model organisasi baru yang dikenal sebagai Decentralized Autonomous Organizations (DAO).

Aset Digital:

Salah satu aspek paling revolusioner dari Web 3 adalah pengenalan konsep kepemilikan digital melalui token kripto dan Non-Fungible Tokens (NFT). Sebelumnya, di era Web2, pengguna dapat membuat dan berbagi konten, tetapi mereka tidak memiliki hak penuh atas karya mereka. Misalnya, seorang seniman yang mengunggah karyanya ke Instagram tidak benar-benar memiliki aset digital tersebut karena Instagram mengendalikan distribusinya dan monetisasinya. Dengan Web 3, NFT memungkinkan kepemilikan unik atas aset digital, memastikan bahwa pencipta memiliki kontrol penuh atas karya mereka dan dapat memperoleh keuntungan langsung dari penjualan dan royalti tanpa perantara.

Keuangan Terdesentralisasi (DeFi):

Web 3 juga membawa revolusi dalam sektor keuangan melalui konsep decentralized finance (DeFi). Tapscott menjelaskan bagaimana sistem keuangan tradisional bergantung pada bank dan lembaga keuangan sebagai perantara untuk transaksi, kredit, dan investasi. DeFi, di sisi lain, memungkinkan individu untuk bertransaksi langsung satu sama lain melalui kontrak pintar (smart contracts), menghilangkan kebutuhan akan bank sebagai perantara. Dengan teknologi blockchain, DeFi menciptakan sistem keuangan yang lebih terbuka, transparan, dan dapat diakses oleh siapa saja tanpa batasan geografis atau hambatan birokrasi. Ini memberikan peluang besar bagi mereka yang sebelumnya tidak memiliki akses ke sistem perbankan tradisional, terutama di negara berkembang.

Gaming & Metaverse:

Tapscott juga membahas bagaimana Web 3 mengubah dunia gaming dan metaverse. Dalam industri game konvensional, pemain membeli aset dalam game seperti senjata, skin karakter, atau item lainnya, tetapi tidak benar-benar memilikinya di luar ekosistem permainan tersebut. Jika pengembang game menutup servernya atau mengubah kebijakan, pemain bisa kehilangan semua aset mereka. Dengan Web 3, kepemilikan aset dalam game menjadi nyata melalui NFT, memungkinkan pemain untuk menjual, menukar, atau menggunakan aset tersebut di berbagai platform berbeda.

Metaverse, dunia virtual yang semakin berkembang, juga sangat dipengaruhi oleh prinsip Web 3. Dengan teknologi blockchain, metaverse dapat menjadi ruang di mana individu memiliki properti virtual, membangun bisnis digital, dan melakukan transaksi dengan token kripto. Konsep ini tidak hanya mengubah cara orang bermain game, tetapi juga bagaimana mereka bekerja, bersosialisasi, dan membangun komunitas digital.

Organisasi & Ekonomi Baru – DAO:

Salah satu inovasi paling menarik dalam Web 3 adalah munculnya Decentralized Autonomous Organizations (DAO). DAO adalah bentuk organisasi digital yang beroperasi tanpa hirarki tradisional dan dikelola oleh komunitas melalui kontrak pintar. Tapscott menjelaskan bahwa DAO berpotensi mengubah cara perusahaan dan komunitas beroperasi, karena mereka memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih transparan dan demokratis. Dalam DAO, anggota memiliki token yang memberi mereka hak suara dalam menentukan arah dan kebijakan organisasi, mirip dengan kepemilikan saham dalam perusahaan, tetapi tanpa struktur birokrasi yang kaku.

DAO telah digunakan dalam berbagai sektor, mulai dari investasi, penggalangan dana, hingga pengelolaan aset digital. Salah satu contoh yang dibahas dalam buku ini adalah bagaimana sekelompok pengguna internet berhasil mengumpulkan dana dalam hitungan jam untuk mencoba membeli salah satu salinan asli Konstitusi Amerika Serikat melalui sebuah DAO bernama Constitution DAO. Meskipun mereka tidak berhasil memenangkan lelang, eksperimen ini menunjukkan potensi besar dari Web3 dalam memberdayakan komunitas untuk berkolaborasi secara global.

Leadership – Tantangan dan Masa Depan Web3

Meskipun menawarkan berbagai peluang, Tapscott tidak menutup mata terhadap tantangan yang dihadapi Web3. Salah satu isu utama yang dibahas adalah tantangan regulasi dan bagaimana pemerintah di seluruh dunia bereaksi terhadap pertumbuhan industri blockchain dan kripto. Banyak regulator masih berusaha memahami bagaimana mengawasi aset digital tanpa menghambat inovasi. Tapscott menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung inovasi sembari melindungi pengguna dari risiko seperti penipuan dan eksploitasi.

Selain itu, tantangan teknis juga menjadi perhatian utama. Skalabilitas dan biaya transaksi masih menjadi kendala dalam banyak jaringan blockchain, meskipun solusi seperti Layer 2 scaling dan inovasi teknologi lainnya sedang dikembangkan untuk mengatasinya. Selain itu, tingkat adopsi masih menjadi hambatan karena banyak orang yang belum memahami atau percaya pada konsep Web3.

Buku ini juga menyoroti bagaimana perusahaan besar mencoba mengadopsi Web3 dalam strategi bisnis mereka. Beberapa perusahaan besar telah mulai bereksperimen dengan NFT dan blockchain untuk meningkatkan keterlibatan pelanggan dan menciptakan model bisnis baru. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa perusahaan besar akan mencoba mendominasi ekosistem Web3 dengan pendekatan sentralisasi, bertentangan dengan prinsip desentralisasi yang menjadi inti dari revolusi ini.

Sebagai penutup, Tapscott memberikan wawasan tentang bagaimana individu dan bisnis dapat mempersiapkan diri untuk era Web3. Ia menekankan bahwa sementara tantangan masih ada, potensi Web3 untuk menciptakan ekonomi digital yang lebih terbuka, adil, dan partisipatif tidak dapat diabaikan.

Kritik terhadap Gagasan Web3 

Alex Tapscott dalam bukunya Web3: Charting the Internet’s Next Economic and Cultural Frontier mengusung optimisme bahwa Web3 akan mendesentralisasi internet, memberikan kepemilikan digital kepada individu, dan menciptakan ekonomi digital yang lebih adil. Namun, gagasan ini tampak terlalu utopis jika diterapkan di negara seperti Indonesia, di mana infrastruktur teknologi, regulasi, dan kesiapan masyarakat belum mendukung sepenuhnya peralihan menuju ekosistem Web3 yang ideal.

Salah satu kelemahan mendasar dalam buku ini adalah keyakinan bahwa desentralisasi akan otomatis menciptakan keadilan ekonomi. Tapscott mengabaikan kenyataan bahwa akses ke teknologi blockchain dan aset digital masih terbatas pada kelompok masyarakat tertentu, terutama mereka yang memiliki literasi digital tinggi dan modal awal yang besar. Di Indonesia, kesenjangan digital masih nyata—data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa sekitar 30% populasi Indonesia belum memiliki akses internet yang memadai. Jika Web3 benar-benar menggantikan sistem keuangan dan media sosial konvensional, masyarakat yang belum siap akan semakin tertinggal, menciptakan ketimpangan baru alih-alih kesetaraan.

Selain itu, model ekonomi berbasis token yang dikedepankan dalam buku ini juga berpotensi menciptakan spekulasi berlebihan dan volatilitas tinggi, sesuatu yang telah terjadi di sektor cryptocurrency di Indonesia. Kasus-kasus seperti anjloknya harga berbagai aset kripto dan meningkatnya jumlah korban investasi bodong berbasis blockchain menunjukkan bahwa teknologi ini tidak selalu menghadirkan transparansi dan keadilan. Alih-alih menjadi alat untuk memberdayakan individu, ekosistem Web3 di Indonesia justru lebih sering dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang mengerti sistem ini untuk keuntungan pribadi, sering kali dengan mengorbankan investor awam.

Buku ini juga terlalu menekankan pada potensi Web3 dalam menggantikan platform-platform terpusat seperti Google, Facebook, dan Amazon, tanpa mempertimbangkan bagaimana ekosistem digital di negara berkembang seperti Indonesia masih sangat bergantung pada layanan-layanan ini. Apakah realistis untuk mengharapkan masyarakat Indonesia yang baru mulai memahami ekonomi digital langsung beralih ke sistem yang sepenuhnya terdesentralisasi? Dalam praktiknya, Web3 memerlukan biaya tinggi untuk masuk (high barrier to entry), mulai dari memahami cara kerja smart contract, menggunakan dompet digital yang aman, hingga mengelola keamanan aset kripto. Di negara yang masih bergulat dengan literasi keuangan dasar, ini adalah tantangan besar.

Dari sudut pandang regulasi, Web3 juga menghadapi tantangan besar di Indonesia. Pemerintah melalui Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) masih mencari cara untuk mengatur aset digital dan DeFi (decentralized finance). Web3, dengan konsep tanpa perantara dan tanpa otoritas pusat, berpotensi bertentangan dengan kebijakan keuangan negara, terutama dalam konteks perlindungan konsumen dan pencegahan pencucian uang. Jika ekosistem Web3 tidak bisa diatur dengan baik, maka bukan tidak mungkin sistem ini justru menjadi tempat berkembangnya aktivitas ilegal seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Pada akhirnya, Web3 bukanlah solusi instan untuk menciptakan keadilan ekonomi digital, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Buku ini menawarkan visi yang menarik tentang masa depan internet, tetapi kurang mempertimbangkan realitas sosial, ekonomi, dan regulasi yang ada. Jika Web3 benar-benar ingin membawa perubahan positif, perlu ada pendekatan yang lebih realistis dan inklusif, dengan memastikan bahwa masyarakat luas memiliki kesempatan untuk memahami, mengakses, dan berpartisipasi dalam ekosistem digital ini tanpa harus menjadi korban dari spekulasi atau ketimpangan teknologi yang semakin melebar.

Jadi, apakah Web 3 akan menjadi revolusi digital yang sesungguhnya? Atau hanya utopia teknologi yang dalam praktiknya tetap dikuasai oleh kelompok tertentu?

Baca lebih banyak di sini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *